Marshilla Silalahi (Yuki Kato) gadis tomboy yang hobi main bola dan mancing gagal masuk SMA negeri favoritnya di Medan. Orang tuanya tidak ingin dia masuk sekolah swasta dan pilihannya hanya satu masuk pesantren. Inilah awal kisah Cahaya Cinta Pesantren yang banyak menggambarkan kehidupan para santri saat mondok.
Dengan berat hati Shilla, begitu panggilan akrab Marshilla, harus menuruti kemauan orang tuanya meski memendam marah kepada ayahnya (Tabah Penemuan) karena dianggap tak lagi mau membantunya. Bagi dirinya, pesantren bukan tempat untuknya, apalagi dia merasa Tuhan sedang tidak berpihak padanya.
Shila menggunakan ‘akal bulusnya’ untuk menghindar dari semua aturan ketat pesantren. Beberapakali, dia juga berusaha kabur, salah satunya saat pura-pura sahabatnya Manda (Febby Rastanty) membutuhkan obat asma dan harus membelinya keluar pesantren, padahal mereka berdua ingin kabur.
Ya, Manda adalah salah satu sahabat yang ditemukan Shilla di pesantren. Selain dia, ada Icut (Vebby Palwinta) yang berasal dari Aceh, Asiyah (Sivia Azizah) dari Tanah Minang yang sama-sama mondok di pesantren Al Amanah. Sementara Manda, gadis pemalu yang berasal dari Malaysia.
Kendati sedikit ‘bengal’, Shila sosok yang setia kawan. Dia kerap membantu ketiga sahabatnya keluar dari masalah, terutama Icut yang sempat marah padanya karena merasa Shila berusaha mematahkan mimpinya. Dia juga akhirnya membunuh rasa cintanya kepada seorang ustad karena sahabatnya Manda.
Ustad itu tak lain adalah Rifqi (Fachri Muhammad), santri pendiam dan cerdas yang ditemuinya pertama kali di depan masjid pesantren. Sejak pertemuan pertama itu, Shila menganggap Rifqi adalah “Pangeran Senja” yang akan menjadi cintanya. Padahal, di sisi lain, ada seorang Abu (Rizky Febian) yang cinta mati kepada Shila.
Berlatar belakang budaya Sumatera Utara. Kisah Shila yang diangkat dari buku dengan judul yang sama Cahaya Cinta Pesantren memanjakan mata dengan panorama indah Danau Toba dan ragam budayanya. Namun di antara semua, kehidupan pesantren yang begitu detil dituangkan di film ini memberi gambaran penonton tentang kehidupan para santri.
Raymond Handaya seolah memberitahu, apa yang kita dengar belum tentu apa yang kita ketahui. Dunia pesantren tidak sekuno pikiran orang, itu bisa dilihat saat para ustad dan ustazah yang mengajar di kelas.
Pada akhirnya, Shila menemukan apa yang dicarinya meski awalnya pesantren bukan pilihannya. “Aku ikhlaskan banyak hal di sini. Karena aku tahu, dalam ikhlas, kita akan mendapatkan yang terbaik”, begitu penggalan kalimat Shila yang kian yakin akan langkahnya di masa depan.
Simak kisah perjalanan Shila dengan segala lika-likunya di pesantren hanya di TrueID. Anda tak perlu berlangganan untuk menyimaknya hingga tuntas. (Tya)